Whether like it or not we are used to be influenced by others everyday, everywhere, even in our circle, and it can be hard to stop being influenced. Our thoughts, and our actions are sometimes led by…
gemerlap malam yang kali ini purnamanya tampak begitu bulat sempurna membuat samudera januar akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah sebelah, tidak ada alasan khusus, itu hanya rutinitasnya saja, dan tidak ada yang salah juga dengan hal tersebut
ia membawa sebuah paperbag berisi waffle pesanan anne sebab sebelum kemari ia menghubungi perempuan itu dan bertanya apa yang diinginkannya
“bangun, turun sini, gue lagi di dapur” samudera menghubungi anne sebab pintu kamarnya terkunci, betul, anne terlelap sedari siang tadi, ia begitu lelah
“iya bentar…” suaranya masih parau, dan hal itu membuat samudera menyunggingkan senyumnya simpul
“jangan lama-lama, nanti keburu dingin ini”
masih dengan piyamanya, anne berjalan gontai menuju meja makan, rambutnya acak-acakan bahkan sebagian menutupi wajahnya, ia terdiam kaku sebentar di kursinya sambil memejamkan matanya
samudera menghampiri anne dengan seulas senyum yang masih setia hiasi wajahnya, dan kemudian mencopot scrunchie yang mengitari pergelangan tangannya, ia kumpulkan semua rambut perempuan itu dan mulai menguncirnya
“dah, cuci muka dulu, gih”
“…” anne masih memejamkan matanya
samudera yang melihat tingkah sahabatnya itu terkekeh pelan, ia membantu anne menuju wastafel dan membiarkan anne menyeka wajahnya sendiri
“kemaren begadang?”
“iya, ngurus kerjaan dikit”
“kalo dikit gak bakal begadang”
anne terkekeh, masih mengantuk
“kalo butuh bantuan, telepon. dibiasain”
“iya” ia menuruti ucapan samudera
hanya dentingan antara pisau dan garpu yang beradu terdengar setelahnya
“jangan langsung tidur, minimal jam 10 nanti”
“ya kalo gak bablas”
“ya jangan sampe bablas”
“ih, orang ngantuk!”
“yaudah ngapain dulu kek, asal jangan langsung tidur”
“nerusin yang semalem aja, deh. temenin dulu bentar, ya? takut ketiduran”
“iya, tapi jam 9 gue balik, ada janji sama ibra”
“tau, dia chat gue tadi, nanyain lo kemana, soalnya lama bales” anne terkekeh
“oh, gue lupa, belum bales”
“ke bintaro mau ngapain? lumayan, kan, itu dari sini?”
“ya ada lah. gue bawa motor, kok, jadi bisa cepet”
anne lantas mengangguk untuk kemudian melanjutkan sesi berkelut dengan pekerjaannya, sedang samudera memilih untuk duduk di balkon dan berkutat dengan ponselnya
waktu berangsur menunjukkan pukul 9 malam, samudera masuk ke dalam dan hendak berpamitan
“gue jalan dulu, ya”
“eh? udah jam 9, ya. yaudah, yuk” anne bangkit dari kursinya
“mau apa?” tanya samudera
“nganterin ke depan”
“gak usah, dingin di luar” sebab anne yang memang sudah mengenakan set piyamanya
“gapapa, sebentar doang”
“yaudah, nanti jangan lupa kunci jendela kalo mau tidur. besok gue ke sini lagi”
“iya, bawel, emangnya gue anak bocah?” kesalnya pada laki-laki itu, samudera kadang tanpa sadar memang suka memperlakukan anne selayaknya anak kecil
“lho? emangnya bukan?”
anne mencubit perut samudera cepat, ia hanya mampu tertawa dan meringis. andalan dan kekuatan anne ada pada kedua tangannya, samudera yang akan memberi testimoni soal bagaimana besarnya tenaga dari tangan mungil itu dalam memberinya sensasi perih kala ia mencubit perutnya
“ne”
“hm?”
samudera masih sibuk mengenakan jaket kulit juga sepatu miliknya, ia memanggil perempuan itu sembari tetap melakukan kegiatannya
“jangan begadang. kalo ada apa-apa telepon. buah potong tadi diabisin aja kalo iseng pengen ngemil, jangan masak indomie”
“sama tadi di balkon gue liat ada cicak, tapi harusnya, sih, udah pada mati karena abis gue semprot. botol cairannya ada di deket nakas”
“kapan belinya?”
“gak beli, gue bikin tadi”
“hah?”
“iya pokoknya gitu. udah, ya, gue jalan dulu”
“eh, bentar. boleh peluk?”
“lo kenapa, deh?” tanya anne pelan dalam pelukan itu setelah barusan ia mengangguk, meskipun bertanya-tanya, tetapi ia menerimanya dengan senang hati
“gapapa, kan?”
“nggak, lah, bukan gitu, maksud gue, kenapa tiba-tiba?”
“ya gapapa, pengen aja”
“i… iya, yaudah, hati-hati, ya”
samudera menjauhkan tubuhnya dari anne, ia menatap perempuan di hadapannya sebentar, barang menikmati tiap lekuk pahatan wajahnya yang belakangan ini semakin senang ia pandangi. dahinya, alisnya, matanya, hidungnya, pipinya, juga ranumnya
“apa, sih?” kedua alisnya mengkerut, seakan bertanya
“gapapa” jawab samudera sembari terkekeh, ia tersenyum begitu indah, menurut anne. sebab feature tubuhnya yang paling ia sukai ada pada tahi lalat dibawah mata dan senyumya, ya, bahkan jika kalian sedang menaruh benci padanya, satu detik samudera memberimu senyum, dapat dipastikan benteng pertahanan itu akan hancur lebur tak bersisa
samudera menaiki motor sport-nya sembari membenarkan posisi sarung tangannya, anne yang melihatnya, membantu membetulkannya
samudera membuka kaca helmet itu dan tersenyum pada anne, untuk kemudian melajukan motornya dengan gaungan suara yang terdengar tidak terlalu kencang namun memberi kesan yang begitu mengintimidasi
dan, bagaimana bisa seseorang tersenyum dibalik helmet yang menutupi rapat seluruh wajahnya kecuali mata namun justru terlihat begitu jelas?
matanya
ya, matanya tersenyum, matanya pun turut ikut andil
suara mesin yang sangat memekik bagi telinga itu seperti saling sahut-menyahut dalam sunyinya malam, samudera berdusta, tapi tak sepenuhnya, ia benar pergi menemui ibra di lokasi yang sudah ditentukan, namun ia tak jujur kala anne bertanya apa tujuannya datang ke sini
anne hanya tahu laki-laki itu punya urusan dengan temannya, anne juga merasa tak melulu segala tentang samudera harus ia ketahui, akhirnya perempuan itu memilih untuk tak banyak bertanya
“ib, rajendra dateng jam berapa?”
“gatau. tapi ini lu yakin? bener? gua panik dikit anjir”
“kalo gak begini, dia bakal nekat. ini udah bagus banget karna lo mergokin rencana dia, gua jadi tau harus ngapain demi ngelindungin anne. mending gua yang ambil resiko gede”
“oalah dasar bucin… bucin…” ibra menanggapi sekenanya, samudera hanya tersenyum sekilas
dari sudut lain, gerombolan motor yang berjumlah tak sedikit itu pun menyita perhatian samudera kala dirinya tengah menimbang apakah ia harus meninggalkan beberapa pesan untuk anne atau tidak, pun niatnya barusan diurungkan sebab sang ketua telah datang, ia memenuhi panggilan samudera
“wah, jagoan juga, ya. nyali lo gede gua liat-liat”
“gausah banyak ngomong. langsung aja”
“eits, sabar dulu, dong, brodie. ngobrol dulu kita. gua pengen nanya”
“cepetan” jawabnya ketus
“kenapa lo sampe segininya nantangin gua turun ke lapangan? karena nyebut nama roseanne sebagai target selanjutnya? emang lo tau ‘target’ yang gua maksud itu apa?”
samudera terdiam, selama ini ia hanya tahu bahwa rajendra memiliki niat hendak melakukan bully pada anne sebagai bentuk balas dendamnya karena anne telah menggeser nama sang adik menjadi urutan kedua untuk kontes modeling pada tahun lalu, rania yang tak terima kekalahannya mengadu pada sang kakak
namun sepertinya bukan itu
“rania, kan?”
“lo naif banget, gua emang abangnya, tapi gua gak se-kotor itu nyuruh orang buat ngebully, apalagi perempuan. emangnya lo pikir gua punya kaki tangan di neo? nggak, samudera”
“terus apa?”
“jangan karena reputasi gua yang udah buruk dimana-mana lo jadi mikir gua bakal ngejahatin orang-orang di sekeliling lo juga, no. gak gitu cara main gua”
“ya apa? lo ngomong mulu daritadi” samudera jengah sebab semua penuturan rajendra barusan tak memberinya jawaban sama sekali
“lo mau tau?”
samudera diam, ia hanya menatap tajam ke arah laki-laki dengan setelan yang tak jauh berbeda dengan dirinya itu
“gua tertarik sama roseanne. itu alesannya”
bak disambar petir, samudera terkejut luar biasa. namun keterkejutannya tersebut tak berangsur lama. api cemburu yang mungkin saat ini sudah menguasai dirinya membuat ia akhirnya menyalahkan mesin motor itu dan melajukan motornya menuju garis start yang ada di sana
rajendra yang paham akan hal itu hanya mampu tersenyum asimetris
well, it’s like i’m going to stole his, it is. and now look at how his eyes turned even more sharper than before
samudera bukannya memiliki nyali yang begitu besar, semua ini ia lakukan hanya demi roseanne. tak lain dan tak bukan
samudera juga sudah lama sekali sejak terakhir kali ia menunggangi motor besarnya untuk kegiatan seperti ini, sebab, dirinya yang masih labil dulu kala sekolah menengah atas, memutuskan untuk mencoba ikut bergabung dalam sebuah geng motor selama sekitar enam bulan lamanya, beberapa balap liar juga kerap ia lakukan hanya demi pamor dan mendapatkan respek dari geng sekolah lain
dan ia mendapatkan pengakuan dari orang banyak akan kemampuan yang dimilikinya
dan hal itu membuat anne begitu murka kala ia mengetahui fakta tersebut, anne benar-benar tak berbicara dengan samudera selama hampir satu bulan lamanya, bahkan anne memutuskan untuk tinggal di rumah sang nenek kala libur sekolah tiba saat itu, demi menghindari segala bentuk interaksi dengan samudera, ia kecewa dan marah, namun lebih memilih untuk memberi laki-laki itu silent treatment sebab ia tak ingin perkataannya malah berbalik menyakiti samudera
dan malam ini ia kembali mengulangi kesalahannya, walaupun ia tak berniat apapun selain hanya ingin mempertahankan roseanne, tak ada alasan lain dari itu
dan rajendra jelas bukan lawan yang mudah baginya, terlebih samudera yang sedikit tak yakin akan kemampuannya, apakah masih sama atau sudah lama hilang
“in 3… 2… 1… GO!”
disibaknya bendera dengan warna hitam dan putih itu sebagai penanda pertandingan telah dimulai, samudera dengan pikirannya yang sudah terfokus hanya pada bagaimana cara mengalahkan rajendra pun melajukan motornya dengan kecepatan penuh
rute yang dilalui kali ini cukup menguji adrenalinnya, sebab tantangan itu ada pada bagian permukaan jalan yang memang tak selalu mulus, ditemukannya bebatuan kerikil dan banyak kelokan
samudera memimpin cukup jauh di depan, rajendra berusaha menyamai kedudukan atau bahkan hendak mengalahkannya. tapi tak semudah itu, sebab kemampuan dirinya yang ternyata masih sama
bahkan rajendra dibuat kelimpungan karena ia tak menyangka bahwa akan ada seseorang bernama samudera januar yang akan memimpin jauh di depan, tak pernah ada dalam sejarahnya melawan siapapun di lapangan, terkalahkan
namun, ini bukan akhir dari segalanya, samudera masih berusaha mempertahankan posisinya sebab lawannya kini mulai mendekati posisinya
pada belokan pertama di depan, ia harus mengikuti insting dan taktiknya. jitu, ia berhasil untuk tetap mempertahankan posisi pertamanya
race kali ini akan diputari sebanyak lima kali, saat ini mereka berdua sudah menempuh putaran yang ketiga
tumpukkan daun kering yang ada di pinggir jalan itu pun terbang bebas bertebaran ke mana-mana kala dua motor tersebut menggaung melewatinya, ini akan menjadi pe-er para petugas kebersihan esok pagi dan samudera merasa bersalah akan itu
genangan air bekas hujan di sekitaran sana pun menyiprat ke sembarang arah
namun, bukan itu point utamanya, sekarang fokusnya hanya satu, roseanne zamora
tetapi, kenapa juga ia harus berusaha keras menghalau laki-laki yang tertarik pada perempuan itu? bahkan samudera tak memiliki hak untuk itu, ini bicara soal hati dan ia tidak mengerti, isi kepalanya mungkin sekarang hanya warna hitam dan roseanne
samudera hanya akan berusaha sebaik yang ia bisa
ne, maaf. once you found out, i know what will gonna happen
hasil akhir pertandingan tersebut pun dimenangkan oleh samudera, ia sendiri bahkan tak menyangka akan kemampuan yang ada pada dirinya, entah dari siapa ia mendapat ilmu dan pada siapa ia berguru, samudera tak tahu
“skill lo oke juga” ucap rajendra yang masih mengatur nafasnya
“inget kesepakatannya, jangan ada yang ngelanggar. lo pengecut kalo tetep nekat. jangan ganggu anne. gua cabut. thanks” pamit samudera pada laki-laki itu, ia bahkan tak menunggu ibra maupun kawannya yang lain, ia melesat cepat menuju rumahnya. ibra dan kawannya yang lain pun pasti mengerti
samudera sampai di kediaman kedua orang tuanya pada pukul dua belas tengah malam lewat sedikit, ia melirik ke arah balkon kamar anne dan mendapati jendela yang sudah tertutup rapat dan lampu di balkon yang sudah dimatikan, ia tersenyum setelahnya
terbesit kembali akan apa yang baru saja ia lakukan, dan wajahnya kembali sedikit menaruh keresahan, ia khawatir anne akan kembali kecewa pada dirinya, namun samudera juga tak ada pilihan lain
ia segera memarkirkan motornya di garasi rumah dan melepas helmet miliknya, ia sempat terheran sebab kondisi ruang keluarganya yang masih menyala terang, tidak seterang kala pagi maupun siang hari, namun saat ini pasti ada seseorang tengah duduk di sana
“mah? pah? maaf sam baru pul-”
sesaat jantungnya seakan berhenti berdetak, istilah hampir copot dan melorot pun sepertinya pas untuk keadaan saat ini sebab perempuan itu ada di sana, duduk dalam diam sembari fokus dengan ponselnya, entah apa yang sedang ia lakukan, samudera berusaha setenang mungkin untuk saat ini, dan ia berjanji untuk tak akan berbohong jika anne bertanya, pun jika ia sudah tahu apa yang telah samudera lakukan tadi, ia akan berkata jujur
samudera berjalan pelan mendekati sofa itu, hendak menegurnya, sekadar say hi dan bertanya apa yang ia lakukan di sini sendirian
“dari mana?” tanya anne, straight to the point. bahkan sebelum samudera membuka mulutnya untuk basa-basi
“bintaro”
“gue tau. lo abis ngapain di sana?” anne menoleh ke arah samudera dengan air wajah yang sudah tampak seperti sedang menahan sesuatu, lebih tepatnya, emosi
“ketemu ibra”
“gue tau, samudera januar. di sana ngapain? nongkrong? main billiard? atau balapan?”
“…”
tau darimana? batinnya mengucap
“gak usah nyari alesan buat boong. ngomong jujur sama gue”
samudera sempat terdiam di tempatnya berdiri, anne bangkit dari sofa
“jangan dikira gue gak curiga, terakhir kali lo pake setelan begitu pas lo mau balapan, kan? dan lo kecelakaan.” samudera semakin tak bergeming
benar…
“gue ngikutin lo, gue nekat nerobos lampu merah biar gak ketinggalan jejak, dipikiran gue cuma satu, apa iya beneran balapan lagi? ternyata bener, ya?” bibirnya bergerak menyunggingkan senyum satu sisinya
“kenapa, sih? lagi mau ngebuktiin apa? apa yang lagi lo cari? rasa hormat dari lawan lo?! gue bener-bener gak habis pikir…”
“lo gak pernah paham sama kekhawatiran dan ketakutan yang gue punya kayaknya, ya? gue cuma gak mau kejadian waktu itu keulang lagi. oh, sorry. gue salah, gue yang lebay di sini” ucap anne lagi. nada bicaranya kini sudah semakin terdengar parau, ia siap menangis jika samudera masih terus mengajaknya berbicara
“nggak, ne, denger dulu…” samudera berusaha meraih tangan perempuan itu namun anne menolaknya perlahan
“apa? mau jelasin apa?” suaranya kian bergetar, tampak menahan air matanya yang sudah menggenang di pelupuk mata, ia tahan mati-matian
“duduk dulu sin-”
“gue ngantuk…” anne lantas berjalan cepat menuju pintu utama rumah itu dan melengos pergi ke rumah sebelah, rumah kedua orang tuanya. samudera menatap nanar punggung anne yang lama kelamaan menghilang dari jangkauan kedua netra itu
“lo kenapa, sih? apa yang lo cari? hiks…” anne terisak sembari terduduk di atas kursi meja belajarnya
samudera berusaha menghubunginya namun nihil, anne bahkan memblokir nomornya setelah tahu samudera masih berusaha menjangkaunya. tak ada yang lebih baik dari diam dan memberinya waktu
di sebrang sana, samudera masih memikirkan roseanne yang jelas tengah dikuasai amarahnya, dan itu wajar, ini menyangkut hidup dan mati samudera jika ia salah perhitungan sedikit saja
samudera menggerak-gerakkan kakinya seraya berpikir haruskah ia hampiri lagi perempuan itu untuk sekedar menjelaskan intinya?
setelah berkutat dengan pikirannya sendiri, pilihannya jatuh pada kata tidak, ia pernah ada di fase ini sebelumnya. dan anne menolak kedatangannya mentah-mentah
maka, ia memutuskan untuk mencobanya lagi esok hari, mana tahu
“anne udah berangkat, bu?” tanya samudera seraya menyalami mira
“coba ketok kamarnya, bang. setengah jam lalu ibu panggil belum selesai katanya”
“ibu aja, deh”
“kenapa? lagi marahan?” ledek mira sembari tersenyum
“abang yang punya salah” samudera menggaruk tengkuknya yang tak gatal itu
mira tersenyum lalu meminta samudera untuk menunggu di ruang tamu. kemudian berjalan menuju lantai 2 di mana kamar anne berada
“ne? udah selesai? itu abang udah nunggu di bawah, jangan lama. nanti telat”
“tolong bilangin aku belum selesai, udah ada janji juga, soalnya semalem devano nawarin jemput pagi ini. maaf, ya, bu”
“iya”
anne tahu samudera akan menyambanginya pagi ini, maka dari itu ia memutuskan untuk tetap berada di kamar sampai devano datang menjemputnya
perempuan itu seakan menutup segala akses yang bisa digunakan samudera agar tetap dapat berkomunikasi dengannya
lantas mira kembali turun dan duduk di sofa yang sama dengan samudera
“masih siap-siap. terus katanya udah ada janji dari semalem sama devano, nawarin mau ngejemput”
“oh… yaudah, kalo gitu abang berangkat aja, bu”
“iya, kalo ada masalah semoga bisa cepet ketemu jalan keluarnya, ya. kalo abang butuh ibu buat ngobrol sama anne, boleh”
“makasih, ya, bu. abang pamit dulu”
selagi samudera berjalan keluar, ia melihat mobil devano telah terparkir di dalam garasi rumah itu dan hendak menguncinya
“eh, bro. mau berangkat? bareng aja gak?”
“sorry, gak bisa” samudera melengos begitu saja, ia tampak tak begitu bersemangat, kernyitan di dahi yang disebabkan oleh sinar matahari pagi itu juga membuat wajahnya terlihat lebih enggan melakukan aktivitas apapun
devano tampak sedikit mengernyitkan alisnya sebab suasana seperti ini sangatlah terasa tak biasa
“nitip ini aja, jangan ngebut nyetirnya. dia suka mual kalo lo bawanya gak enak” samudera berbalik badan sesaat hanya untuk berpesan demikian pada devano
“paham gua, tapi makasih”
“duluan” kali ini samudera benar-benar melengos begitu saja setelahnya
“kenapa diem aja daritadi? gue ada salah?”
“eh, nggak, maaf. gue kayaknya cuma kurang tidur aja, nih. jadi rasanya capek terus”
“walopun kurang tidur itu bukan ‘cuma’, ne” kekeh devano setelahnya sembari menatap sekilas ke arah sisi kirinya
anne tertawa dibuatnya
“iya, sih”
“mau cerita?”
anne menggeleng
“mau… makan?”
“kan, tadi kita udah sarapan roti” anne menjawab sembari tersenyum
“atau mau di peluk?”
“apa, sih?” anne meninju lengan kiri devano dan berakhir dengan gelak tawa keduanya yang mendominasi seisi mobil
“ne, boleh minta sesuatu?”
“apa? lo mau hadiah? buat ulang tahun nanti?”
“iya, tapi gak boleh berbentuk barang”
“lah terus apa kalo bukan barang? lo jangan nambahin pikiran gue, van” ucap anne sembari tertawa, ia bergurau
“gaperlu mikir, gampang”
“apa, sih…” anne dibuat keheranan
“tanggal 13 malem, gue jemput, ya? nanti gue kirimin sesuatu juga buat lo”
“hah?”
“tunggu aja, bukan apa-apa, kok”
anne berakhir semakin memikirkan apa maksud dan tujuan devano nanti, tak diminta memikirkan hadiah, ia dibuat berpikir keras akan apa yang dilakukan devano nantinya
untuk hari ini, kebetulan anne dan samudera berada di kelas yang sama, samudera sesekali melirik untuk memastikan keadaan anne, padahal yang seharusnya diperhatikan keadaannya adalah sudah jelas dirinya sendiri
sebab anne tampak baik-baik saja menerima materi dari sang dosen, sedang dirinya tak melepas pandang dari perempuan itu sedikit pun, dan karena itu pula dosennya menyadari hal tersebut
“itu yang di belakang! fokus!”
“siapa namamu? samudera?”
“pay attention or get out!”
samudera yang merasa namanya disebut pun gelagapan dan hampir menjatuhkan buku-bukunya
anne yang menoleh ke arah sumber keributan pun menatap samudera sekilas, keduanya beradu tatap barang dua detik, untuk kemudian anne yang memutusnya terlebih dahulu dan kembali fokus pada kegiatan mencatatnya
“woy, lo kenapa?” bisik tristan pada samudera
“lagi dicuekin, nih, gua” balasnya juga tak kalah pelan
“sama yang mana? anne?”
“pake nanya yang mana lagi, bangsat, emangnya gua lo”
“tar ngobrol sama gua kelar ini, gua kasih tau cara yang dipake dewa buat deketin dewi”
“anjing, diem gak, lu?” samudera terkekeh menahan tawanya
sesi tersebut telah usai, kelas bubar dan anne melesat cepat keluar menemui devano di depan kampusnya
“nunggu lama, gak?” tanya anne sembari mencari sesuatu di dalam totebag-nya, karena tas bekal yang masih ada di genggaman tangannya, membuat anne kesulitan melakukan hal tersebut
“nggak, kok, gue juga baru selesai ngobrol sama gian di telepon. sini tasnya”
“eh, makasih” anne menatapnya sekilas dan melemparkan senyumnya. ia kembali sibuk merogoh seisi tasnya
“cari apa?”
“handphone gue, tadi kayaknya udah masuk tas, deh. apa lupa, ya?” anne melihat sekelilingnya dan berusaha mengingatnya
“ketinggalan di kelas kali, ayo cek dulu”
anne mengangguk berniat menuju kelas itu lagi, samudera yang juga saat itu kebetulan ingin keluar pun membuat mereka berakhir hampir bertabrakan di dekat gerbang
“sorry” “sorry…” keduanya mengucapkan kalimat yang sama
“nyari hp, ya? nih, ketinggalan diatas meja lo”
“oh, makasih, ya”
samudera hanya membalasnya dengan senyuman, lantas anne kembali pergi dari sana, samudera hanya memperhatikan gerak-gerik perempuan itu yang masih enggan berinteraksi dengannya
“gue harus gimana?”
sore itu di tepi sebuah danau yang tak jauh dari kediaman anne, mereka berdua memutuskan untuk sekedar duduk dan menikmati hembusan angin yang bersemilir teduh hantarkan sensasi geli pada kedua pipi merahnya
“van”
“hm?”
“pernah berantem sama orang gak?”
“tonjok-tonjokkan? pernah, sih. gara-gara dia mabok terus gak sengaja mukul gue, tapi gue kesel, lah! kenapa, ne?”
“astaga… tapi maksud gue bukan itu” anne terkekeh pelan melihat tingkah laki-laki itu barusan
“oh, bukan? terus apa?”
“diem-dieman gitu, aduh, ini kedengerannya childish, sih. tapi gue kecewa banget sama dia! dia gak tau apa kalo gue khawatir bakal kenapa-napa?! pasti dia gak mikirin gimana paniknya gue di rumah sampe akhirnya nekat ngejar diem-diem?! walopun gue tau dia pasti punya alesan ngelakuin itu, tapi tetep aja gue takut, gue cuma gak mau hal buruk itu kejadian lagi buat yang kesekian kalinya… dulu waktu umur kita 18 tahun…” anne bercerita panjang lebar tentang samudera, bahkan sampai ia dengan lancarnya menceritakan akan kegiatan apa saja yang mereka lakukan bersama di kala itu
devano yang hanya mendengarkan pun sesekali tersenyum masam, bukannya ia tak tertarik pada apa yang sedang anne haturkan, devano menyadari satu hal lagi, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk jatuh lebih dalam pada roseanne, lebih baik berhenti lebih awal dan menanggung rasa sakit yang mungkin bisa lebih cepat pulih daripada menikmati kedekatan yang berangsur lama namun hanya berakhir menjadi sebuah cerita juga kenangan, dan waktu yang dibutuhkan untuk melupakan segala hal indah itu pun akan jauh memakan waktu yang lebih panjang. tapi, apakah menunda confess pada roseanne adalah opsi terbaik untuk dirinya? untuk saat ini mungkin betul, sebab, devano merasa tak ada lagi sosok yang anne pedulikan selain seorang samudera januar, bagaimana perempuan itu selalu terlihat sungguh bersemangat kala bercerita perihal laki-laki itu, bagaimana raut wajah dan matanya yang senantiasa berbinar saat bersama laki-laki itu
dunianya adalah samudera januar, dan itulah tantangan terbesarnya. ini tak akan mudah
samudera jelas menaruh hati, devano juga laki-laki dewasa, ia paham akan segala perlakuan samudera pada roseanne
pertanyaan perihal apakah perempuan itu menaruh hati juga? mengapa tidak diutarakan terlebih dahulu saja soal perasaannya pada roseanne? belum tentu perempuan itu juga memiliki rasa yang sama. mungkin ada yang bertanya seperti itu
devano tidak bodoh untuk tidak menyadari hal sederhana seperti itu, roseanne mungkin tampak enggan dan ketus, namun justru itulah siasatnya dalam menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya, roseanne hanya denial dan khawatir. dua variable itulah yang membuat dirinya selalu menampik juga menepis segala jenis perasaan yang datang menghampirinya, termasuk pada berusaha mencintai yang tak dicintai, ia bisa saja berkata suka pada seseorang demi menghalau perasaan asli yang sebenarnya sudah tertanam sejak lama
roseanne hanya takut segala yang sudah ada akan berubah jika mereka memutuskan untuk melibatkan perasaan yang lebih dari sekadar kata friendship
berbagai pertanyaan dan ketakutan yang diawali oleh kata “bagaimana kalau” pun sudah tersusun rapih di kepalanya
bagaimana kalau kami berakhir tak bahagia?
bagaimana kalau kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan?
bagaimana kalau kami tak lagi sedekat nadi?
bagaimana kalau kami berjarak sejauh matahari?
apakah semuanya akan tetap sama dan baik-baik saja? mungkin saja tidak
roseanne terlalu takut kehilangan samudera dan semua hal yang berkaitan dengan laki-laki itu
devano juga tak akan mau memulai suatu hubungan yang satu pihak lainnya tak memiliki gairah dan perasaan sama besar dengan dirinya. ia pikir, untuk apa? itu hanya akan membuat dirimu lelah, bukan?
maka, cintailah yang mencintaimu dan relakanlah ia yang tak mencintaimu meski dirimu mencintainya
devano berakhir mengasihani dirinya sendiri, devano bahkan belum menyatakan apapun, rencananya pada tanggal tiga belas malam pun sepertinya akan berakhir hanya berupa makan malam biasa di antara dirinya dan roseanne
tak apa, meski kalah sebelum berpegang, setidaknya ia mengenal seseorang yang berhasil membuatnya kembali merasakan apa yang dinamakan jatuh cinta
pukul satu dini hari, samudera baru saja menyelesaikan segala tugasnya di apartemen milik ibra, bukannya ia rajin, justru semua ini ia lakukan sebab salahnya yang melulu menunda pekerjaan dan berakhir dihantui oleh kata deadline, dan jatuh temponya tepat pada esok hari
meski tugas kelompok, jika didalamnya terdiri dari sekumpulan laki-laki yang memiliki kepekaan dan kerajinan tingkat tinggi maka akan berakhir seperti ini
oh, barusan itu adalah sarkasme
lupakan itu, yang terpenting sekarang adalah semua kewajibannya telah usai ia tunaikan, kini saatnya merenggangkan otot-otot
“gua langsung cabut, dah. takut diomelin ibu negara” ucap samudera hendak berpamitan setelah beberapa menit lalu ia sempat merebahkan dirinya di atas sofa itu
“ibu negara apa ‘ibu negara’?” ledek ibra
“bacot, udah seminggu ini dia gak ngajak ngobrol gua, nomor diblokir, boro-boro mau ketemu”
“yang sabar, ya. emang wanita itu harus diayomi, bang. pelan-pelan aja. nanti juga luluh”
“jangan ngeledek gua mulu, anjing. bantuin gua mikir kek. tonjok, nih?”
“ampun, becanda, bang” ibra terkekeh kemudian
“tapi emang bener, sam. pelan-pelan, nanti juga luluh, gua yakin dia cuma emosi sesaat aja. dia cuma kaget, dia takut lo kenapa-napa” kali ini tama yang menimpali
“sesaat tapi seminggu, tam. gak mempan pake cara apa aja juga. bingung gua”
“hah? apa aja? m… maksud lo? ngapain…”
“otak lu sapuin, bego” balas ibra disertai toyoran pada kepala bian
“emang kalo otaknya cuma separo ya gitu” balas samudera, sudah malas meladeni
“balik, ah. ini kalo nyokap tau kayaknya gak percaya gua abis ngerjain tugas”
“kalo anne gimana? dia bakal percaya, gak?” tanya bian jahil, namun samudera tanpa sadar meladeninya
“kalo dia percaya, soalnya sering nemenin gua nugas sampe jam segini juga, kadang ketiduran di meja belajarnya” balas samudera sembari memakai jaketnya
“alah siah goblok. tuh, kan, apa gue bilang? masa iya laki-laki sama perempuan ngerjain tugas sampe jam satu malem?” bian sok terkaget-kaget dan heboh sendiri
“yan, besok ikut gua ke ancol”
“ngapain anjir?”
“gua mau nenggelemin lu”
yang kemudian disambut gelak tawa oleh semua orang yang ada di sana
samudera dan kawannya pun pergi meninggalkan apartemen tersebut, masing-masing membawa kendaraannya
ditengah asyiknya ia membelah jalanan ibukota, hujan rintik tiba-tiba mulai turun, yang awalnya intensitas gerumulan air itu masih santai menghantam bumi, kini sudah beralih menjadi lebih ribut
samudera berpikir sejenak, harusnya ia meneruskan perjalanannya atau berteduh?
pilihannya jatuh pada lanjutkan perjalanan, sebab jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah dua malam, ditambah dengan ia yang baru menyadari bahwa jalur yang dilaluinya ini masuk pada territory milik rajendra, dan ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi, meski itu kecil kemungkinan, namun ia lebih naik menghindari sekecil apapun resiko yang ada. ranjendra dan gengnya mungkin saja menyadari samudera dari model motor dan pelat nomor kendaraannya
lantas ia dengan segenap kewarasannya pun menerobos derasnya hujan pada dini hari itu. ia menghindari malapetaka namun seperti menjemput malapetaka lainnya
samudera sampai pada kediaman orang tuanya dengan selamat, mesin motor sudah ia matikan, demi menghalau suara yang akan membangunkan orang rumahnya
samudera sudah izin akan pulang larut sebelumnya, jadi, sudah bisa dipastikan tak ada yang protes, entah bagaimana dengan perempuan satu itu yang sekitar setengah jam lalu tak sengaja melihat postingan sosial media milik ibra
“demam, nih, besok” ucap samudera seraya menepuk-nepuk lengan kanan dan kirinya bergantian meski usaha barusan sudah dapat dipastikan tak akan membuat tubuhnya cepat kering
samudera terperanjat kala mendapati sosok anne sudah berdiri di depannya dengan sebuah handuk berwarna putih polos
anne menyerahkan handuk itu dengan menekankannya tepat di depan dada samudera, laki-laki itu tersenyum setelahnya, dan dengan sigap menerima handuk tersebut
“udah sering kali dikasih tau. sediain jas hujan. gak paham juga? masa harus diingetin mulu, sih?!” oceh anne pada laki-laki itu. sebut samudera gila karena sekarang ia justru tersenyum semakin lebar
anne hendak pergi sebelum satu tangan menahan lengannya
“lagi, ne”
“apaan?!”
“omelin lagi, lo semingguan ini irit banget ngomongnya, gue kangen diomelin”
“stress, ngomong sana sama tembok. gue mau tidur!”
lantas setelahnya anne benar-benar pergi meninggalkan samudera disertai sedikit bantingan pada pintu itu. dan ia semakin tersenyum lebar bahkan tertawa dibuatnya. sebut saja gila, sungguh, samudera ikhlas
siang itu anne benar-benar kebingungan, kelasnya sudah selesai dan bahkan sampai saat ini ia tak melihat samudera, anne yang masih ditutupi emosi pun hanya menganggapnya angin lewat, tak ada pikiran macam-macam di kepalanya saat ini, tak pula terbesit akan sebuah kemungkinan yang mungkin saja sudah menimpa samudera saat ini
lantas ia memutuskan untuk menutup bukunya dan pulang mengendarai mobil pribadinya
menempuh jarak tanggung yang mana itu berarti tak dekat namun juga tak jauh membuatnya cukup suntuk menyetir seorang diri, di dalam kepalanya kini sudah terputar memori kala ia masih baik-baik saja dengan samudera
ia pasti sudah cerewet menawarinya ingin makan apa dan dimana, memilih lagu dari band kesukaan mereka dan saling berbagi cerita tentang hari ini
anne sedikit merindukan kehadirannya, anne juga tersadar seharusnya ia mau mendengar penjelasan laki-laki itu terlebih dahulu dan tidak langsung melompat pada konklusinya sendiri
namun di lain sisi, ia masih betul-betul dibuat jengkel oleh laki-laki itu, jika boleh jujur anne benar-benar panik setengah mati kala mengetahui samudera kembali melakukan hal yang membuat jantungnya bekerja lebih keras daripada biasanya
dengan begitu banyaknya hal yang membuat anne cukup melamun itu, ajaibnya ia tetap berhasil selamat sampai rumah tanpa lecet maupun kurang satu apapun
kebetulan, anne berpapasan dengan kedua orang tua samudera yang hendak keluar
“nak, baru pulang kuliah?” sapa diana, ibunda samudera dengan menurunkan kaca jendela itu
“iya, anne selesai lebih cepet hari ini, mah. mamah mau kemana?”
“mau ke tempat neneknya samudera, kayaknya kondisinya drop lagi, deh. bisa barengan gini, nenek sama cucu”
ya, anne pun baru menyadari sesuatu, biasanya samudera yang akan menyetir mobil jika mereka sekeluarga hendak menyambangi rumah sang nenek, namun kali ini mario — ayah samudera yang terlihat di kursi kemudi
“samudera kenapa, mah?”
“sakit, nak. kayaknya karena semalem pulang pagi sama keujanan juga, deh. ini mamah baru pengen telpon kamu mau minta tolong nitip samudera dulu. eh, kebetulan ketemu di sini”
“o… oh, iya, mah” anne kikuk
“tolong, ya, nak. besok mamah udah pulang, kok. semoga nenek baik-baik aja”
“amin. nanti anne ke samudera”
“makasih, ya, nak? udah mau bantu. kami jalan dulu”
“sama-sama, mah. hati-hati di jalan, ya”
anne berdecak kala mengetahui fakta yang sebenarnya, ia juga sempat menaruh kesal pada samudera yang tak menghubunginya kala ia merasakan sakit, lagi
sebelum akhirnya ia tersadar bahwa dirinya sendirilah yang memutus segala kontak dengan samudera, maka kemudian ia merutuki dirinya sendiri, ingin marah, namun entah pada siapa
anne mengetuk pintu kamar samudera, tak mendapatkan jawaban, ia kembali mengetuk pintu itu agak keras, namun masih belum juga mendapat respon
anne memutuskan untuk membuka blokiran itu dan menelepon samudera, namun lagi-lagi tak membuahkan hasil
“sam? buka pintunya…” anne akhirnya menang akan dirinya sendiri, ia turunkan egonya itu dan berusaha lebih berpikir jernih
anne benar-benar menunggu samudera di depan pintu itu, tidak lama juga tidak sebentar, sembari terus mencoba menghubungi samudera
hingga terdengar suara gaduh seperti orang tengah berlari
“maaf… tadi lupa malah kunci pintu”
samudera yang kulitnya kini terlihat lebih pucat itu pun bicara cepat sebelum akhirnya ia menarik anne ke dalam dekapannya, begitu erat seakan tak ingin lepas
“akhirnya…”
“jangan cuekin gue kayak kemaren lagi”
“kata mamah lo sakit?”
“cuma demam, sih”
“tetep aja itu namanya sakit”
samudera tersenyum. ia rindu saat-saat seperti ini
samudera kembali menarik anne ke dalam pelukannya, entah apa yang membuat ia begitu tak ingin jauh dari anne
perempuan itu tak berada jauh dari jangkauan radarnya, namun karena suasana tak mengenakkan beberapa hari lalu sempat melanda, membuatnya merasakan kerinduan yang seakan tak terbendung
“mau denger alesan gue gak?” tanya samudera pelan
anne yang merasa lebih sensitif kali ini pun akhirnya luruh, ia menangis di dalam dekapan samudera
“yaudah nanti aja gue ceritanya. tapi sebentar dulu, ya. kangen…”
isak tangis anne mulai menginvasi gendang telinga samudera, ia bingung ingin terkekeh atau terharu
“jangan begitu lagi…” anne akhirnya mau mengeluarkan keluh kesahnya di hadapan samudera. ia juga berusaha melepaskan dekapannya namun samudera juga cukup kuat untuk menahan tubuh yang lebih kecil darinya itu untuk tetap berada di dekatnya
“mau marah banget… pengen jambak…”
anne berontak ingin lepas namun kali ini suaranya tangisnya malah semakin kencang, ia mendorong dan memukuli tubuh samudera lebih lagi
“kak mario meninggal karena geng motor, temen sma lo dulu juga kecelakaan pas ikutan balap liar. lo pun dulu pernah kecelakaan gara-gara ikut tanding. gue takut, samudera… lo paham, gak, sih?! hiks…” anne terus memukul lemah lengannya. ia kesal namun rasa khawatirnya jauh lebih besar. paling tidak, ia sudah bisa bernafas lega kala mendapati samudera malam itu pulang dengan selamat tanpa lecet sedikit pun
“gue paham, gue sadar seratus persen pas ngelakuin itu, gue punya alesan… maaf, maafin gue, ne. maaf bikin lo takut, tapi demi tuhan, gue bukannya nyepelein semua kekhawatiran lo, gue tau gue salah. sorry…”
“lepas…” anne kembali menarik diri hendak menjauhi samudera dan melepas dekapan yang sebenarnya hanya memberi dirinya kenyamanan
“nggak, sebelum lo berhenti nangis. jangan nangis kalo gak gue peluk”
anne yang diucap seperti itu justru semakin terisak, ia meluapkan segala emosi yang dipendamnya beberapa minggu ini dalam dekapan samudera
laki-laki itu benci membuat anne menangis, tapi di kondisi seperti ini, jika menangis bisa membuatnya lebih baik, maka lakukanlah, lagipula kadar kuatnya seseorang tak dilihat dari seberapa banyak air mata yang terjun bebas
samudera hanya bisa diam dan memejamkan matanya, lama kelamaan ia juga tak tega mendengar isak tangis perempuan itu, suaranya bahkan tidak kencang, anne bukan menangis tersedu-sedu apalagi meraung, suara tangisnya pelan namun begitu menyesakkan bagi samudera, ia mendengarnya begitu jelas bagaimana ia menahan suara tangisnya namun rasa takutnya masih membuncah tinggi
“maaf, ya…” samudera membawa dagunya menuju pucuk kepala anne, ia daratkan di sana sambil sesekali mengusap rambutnya
“kalo sampe lo kecelakaan malem itu… gue… hiks…” anne merasakan dadanya begitu sesak, bergemuruh dan tak karuan
hampir dua minggu ia hanya bisa menahan segalanya. emosinya, tangisnya
dan hari ini rutu sudah semuanya
anne mulai merasakan lelah, ia lelah sehabis menangis, namun entah bagaimana caranya, energi negatif yang belakangan ia rasakan seperti hilang begitu saja
“mau makan bubur, dong” ucap samudera tiba-tiba
“bikin sana sendiri!” ketus anne seraya menjauhkan tubuhnya
“kalo gue bisa masak, iya, deh” melas samudera
“yaudah, tunggu, gue siapin bahan… b… bahan dulu” anne menanggapi samudera kala dirinya masih sesegukan, ia masih sesekali menyedot ingusnya dan samudera yang melihat itu pun terkekeh, anne memang menggemaskan baginya, namun kali ini ia benar-benar begitu menggemaskan
“awas itu ingusnya ikut turun. gue gamau masak bubur asin” ledek samudera yang kemudian mendapat satu tendangan tepat di bokongnya, dengan mata yang begitu sembab dan hidung yang memerah, anne berjalan menuju dapur meninggalkan samudera yang masih tersenyum memperhatikan perempuan itu
“nih, abisin”
“biasanya disuapin” samudera masih berusaha. kita lihat saja
“makan sendiri” balasnya ketus
samudera yang masih tak tega menjahili anne pun berakhir menyantap makanannya mandiri
sampai pada suapan terakhir, anne yang merasa puas pun tersenyum
saat ia tertangkap basah oleh kedua netra samudera, anne buru-buru mengubah raut wajahnya menjadi datar kembali
“senyum tinggal senyum” samudera menyentuh hidung bangir perempuan itu
“sini mangkoknya” anne mengambil alih wadah makan yang digunakan samudera itu ke atas nakasnya
“udah enakan belum?” tanya perempuan itu
“udah, dong”
“nyengir lo”
“iya, lah. kan, udah baikan”
“emang kita marahan, ya?”
“jewer, nih?” kekeh samudera setelahnya
“sam…”
entah, jantung laki-laki itu kini malah berdegup tak seperti biasanya
“udah bisa cerita kenapa lo ikut-ikutan kayak gitu lagi?”
tanya anne, hanya dibalas senyuman oleh samudera
lantas laki-laki itu mulai bercerita dengan detail, bagaimana anne yang menyimaknya penuh perhatian
tapi ada satu yang tak ia sampaikan, mengenai ketertarikan rajendra pada perempuan itu. samudera belum siap. biar anne yang mengetahuinya sendiri, tapi jika rajendra memutuskan untuk terbuka, ia akan berusaha siap. meski sebenarnya tak sepenuhnya.
Night is a particular time for your body. Proper rest supports post-workout regeneration, gives you energy, and allows you to face the following day’s challenges with full force. During sleep… Read more
For my project I chose to research the history and impact of cornbread culture on the Appalachia region. The question I will be trying to answer throughout my project is how the evolution of… Read more